Rabu, 23 Mei 2012
MEDITASI DAN JALAN TENGAH
A. Meditasi
Meditasi adalah membiasakan diri kita agar senantiasa mempunyai sikap yang positif, realistis dan konstruktif. Dengan bermeditasi kita akan dapat membangun kebiasaan baik dari pikiran kita. Meditasi dilakukan dengan pikiran, artinya meskipun kita duduk dengan sikap sempurna, melaksanakan meditasi dalam waktu yang cukup lama, namun pikiran kita berlali kesana kemari dengan liar, dan memikirkan objek-objek kemelekatan, itu bukanlah meditasi.
Istilah meditasi sebenarnya dapat disamakan dengan istilah bhavana yang arti harfiahnya 'pengembangan batin' yakni usaha untuk menumbuhkan batin terpusat,tenang,mampu dengan jelas melihat sifat batin sesungguhnya gejala apapun yang dapat merealisir Nibbana,suatu keadaan bathin ideal dari bathin yang sehat[1].
Sejarah Meditasi
Dua ribu lima ratus tahun yang lalu,seorang putra mahkota pada usia 29 tahun saat seseorang berada dalam kegemilangan hidup,telah meninggalkan tahta yang penuh kemegahandan kekuasaan dan pergi ke hutan menjauhi keduniaanmencari obat untuk mengatasi penyakit kehidupan,mencari jalan keluar dari belenggu ketidak pastian untuk mencapai nibbana.
Dibawah bimbingan para ahli meditasi pada zaman itu,beliau mencari dengan Harapan bahwa mereka dapat menunjukan jalan kearah pembebasan dan kebijaksanaan.beliau melatih konsentrasi ,pemusataan perhatian(Samatha atau samadhi) dan telah mencapai tingkat-tingkat tertinggi dari latihan-latihan tersebut.namun beliau merasa tidak puas karena tidak menghasilkan penerangan agung.pengetahuan dan kemampuan guru beliau cenderung pada mistikdan karenanya tidak memuaskan lagi untuk mencari apa yang masih belum diketahuinya.
Menjadi kepercayaan di india pada zaman itu terutama dikalangan para ahli kebatinan(ascetik) bahwa penyucian batin dan kebebasan akhir batin dapat diperoleh dengan melatih diri secara keras,kalau perlu dengan menyiksa diri.beliau memutuskan untuk membuktikan kebenaranya,beliau mulai berjuang untuk melatih jasmaninya dengan harapan agar batinya dapat mengatasi jasmaninya dan mampu membebaskan dirinya.dengan amat tekun dan rajin ia berlatih,beliau hanya hidup dengan makan dedaunan,akar-akar pohon sehingga mengurangi jumlah makanan hinggaminim,pakaianya sangat bersahaja yang dihimpunya dari sampah buangan dan tidur diantara bangkai dan hidup diatas duri.kekurangan makanan dan minuman membuat jasmani beliau lemah.
Selama enam tahun lamanya beliau berjuang sedemikian kerasnya hingga hampir mendekati pintu ajal,namun tujuan tetap tidak tercapai.cara menyiksa diri jelas baginya tidak berarti melalui pengalamanya sendiri.dengan kemauan dan semangat yang membara beliau mencari jalan lain untuk mencapai tujuan.beliau kini menyadari bahwa keberhasilaan yang diidamkanya terletak pada penyelidikan kedalam yaitu bathin sendiri.dengan mantap dan keyakinan akan kemurnian bathin sendiri,tanpa bantuan guru beliau memutuskan untuk bertapa menyendiri untuk mencapai tujuan akhir.
TILAKHANA, PATTICA SAMMUPPADA,
TUMIMBAL LAHIR DAN NIBBANA
A. Tilakkhana
Tilakkhana artinya Tiga Corak yang universil dan ini termasuk Hukum kesunyataan, berarti bahwa hokum ini berlaku di mana – mana dan pada setiap waktu. Jadi Hukum ini tidak terikat oleh waktu dan tempat.[1]
- Sabbe Sankhara Anicca
b. Sabbe Sankha Dukkha

c. Sabbe Dhamma Anatta
Segala sesuatu yang bersyarat maupun yang tidak bersyarat ( Nibbana ) adalah tanpa inti yang kekal, karena tanpa pemilik dan juga tidak dapat dikuasai. Disamping
paham Anatta yang khas ajaran YMS Buddha Gotama, terdapat pula dua paham
lainnya yaitu :
1. Attavada, ialah
paham bahwa atma ( roh ) adalah kekal abadi dan akan berlangsung sepanjang
KITAB SUCI AGAMA BUDDHA
Kitab Suci Buddha (Tipitaka)
Tipitaka adalah kumpulan ajaran Buddha selama 45 tahun dalam bahasa Pāli. Terdiri dari Sutta-ajaran konvensional, Vinaya- kode disiplin, dan Abhidhamma- psikologi moral.
Tipitaka dihimpun dan disusun dalam bentuknya seperti saat ini oleh para Arahat yang memiliki kontak langsung dengan Sang Guru sendiri.
Sang Buddha wafat, namun Dhamma luhur yang ia wariskan secara terbuka kepada manusia tetap hidup dalam kemurniannya. Walaupun Sang Guru tidak meninggalkan catatan tertulis tentang ajaran-Nya, murid-murid-Nya yang terkemuka melestarikannya dengan jujur secara ingatan dan menurunkannya secara oral dari generasi ke generasi.
Segera setelah Sang Buddha wafat, 500 Arahat terkemuka mengadakan suatu sidang yang dikenal sebagai Dewan Buddhis Pertama untuk menyusun kembali doktrin yang diajarkan Sang Buddha. Yang Ariya Ananda, pendamping setia Sang Buddha yang berkesempatan khusus mendengarkan semua ceramah yang pernah dibabarkan Sang Buddha, menuturkan Dhamma, sementara Yang Ariya Upali menuturkan Vinaya, aturan tingkah laku Sangha.
Seratus tahun setelah Dewan Buddhis Pertama, pada masa Raja Kalasoka, sebagian murid memandang perlu untuk mengubah beberapa aturan kecil. Bhikkhu yang ortodoks berkata bahwa tidak ada yang perlu diubah sementara yang lain bersikeras untuk memodifikasi beberapa aturan disiplin (Vinaya). Akhirnya, tumbuhlah tradisi yang berbeda-beda setelah dewan ini. Dalam Dewan Buddhis Kedua, hanya hal-hal yang menyangkut Vinaya yang dibahas dan tidak ada kontroversi yang dilaporkan tentang Dhamma.
Pada abad ke-3 SM, selama masa Kaisar Asoka, Dewan Buddhis Ketiga diselenggarakan untuk membahas perbedaan-perbedaan pendapat yang dianut oleh komunitas Sangha. Dalam dewan ini perbedaan itu tidak dibatasi pada Vinaya, tetapi juga menyangkut Dhamma. Pada akhir dewan ini, Ketua Dewa, Yang Ariya Moggaliputta Tissa, menyusun sebuah buku yang disebut Kathavatthu yang menolak pandangan dan teori yang keliru dan murtad yang dianut sebagian murid. Ajaran itu disepakati dan diterima oleh dewan ini yang dikenal sebagai Theravada atau ‘Jalan Para Sesepuh’. Abhidhamma Pitaka dibahas dan dimasukkan dalam dewan ini. Dewan Buddhis Keempat diadakan di Sri Lanka pada tahun 80 SM di bawah perlindungan Raja Vattagamini Abbaya yang bajik. Pada masa ini di Sri Lanka Tipitaka untuk pertama kalinya dituliskan.
Harus ditekankan bahwa sementara penulisan berlanjut, tradisi dasar secara oral tetap dipertahankan. Setiap aspek ajaran dipertahankan dan dijunjung tinggi dalam ingatan daripada dalam catatan tertulis. Itulah sebabnya para murid dikenal sebagai pendengar, Savaka. Dengan mendengarkan, mereka mempertahankan ajaran dalam tradisi oral selama lebih dari 2.500 tahun.
Tipitaka terdiri dari tiga bagian ajaran Buddha. Bagian itu adalah Disiplin (Vinaya Pitaka), Ceramah (Sutta Pitaka), dan Doktrin Mutlak (Abhidhamma Pitaka).[1]
Selama hampir dua puluh tahun sejak pencerahan-Nya, Sang Buddha tidak menetapkan aturan untuk mengendalikan Sangha. Pada kemudian hari, dengan terjadinya beberapa peristiwa dan bertambahnya jumlah pengikut, Sang Buddha mengumumkan aturan untuk disiplin masa depan Sangha.
Pitaka ini terdiri dari tiga bagian, yaitu:
● Sutta Vibhanga Kitab Sutta Vibhanga berisi peraturan-peraturan bagi para Bhikkhu dan Bhikkhuni, terdiri dari: → Bhikkhu Vibhanga: berisi 227 peraturan yang mencakup 8 jenis pelanggaran, diantaranya terdapat 4 pelanggaran yang menyebabkan dikeluarkannya seorang Bhikkhu dari Sangha dan tidak dapat menjadi Bhikkhu lagi seumur hidup. Keempat pelanggaran itu, adalah : berhubungan kelamin; mencuri; membunuh atau menganjurkan orang lain bunuh diri; membanggakan diri secara tidak benar tentang tingkat-tingkat kesucian atau kekuatan-kekuatan batin luar biasa yang dicapai. Untuk ketujuh jenis pelanggaran yang lain ditetapkan hukuman dan pembersihan yang sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang bersangkutan.
→ Bhikkhuni Vibhanga : berisi peraturan-peraturan yang serupa bagi para Bhikkhuni, hanya jumlahnya lebih banyak.
● Khandhaka Kitab Khandhaka terbagi atas Mahavagga dan Culavagga. → Kitab Mahavagga: berisi peraturan-peraturan dan uraian tentang upacara pentahbisan Bhikkhu; upacara uposatha pada saat bulan purnama dan bulan baru dimana dibacakan Patimokha (peraturan disiplin bagi para Bhikkhu); peraturan tentang tempat tinggal selama musim hujan (vassa); upacara pada akhir vassa (pavarana); peraturan-peraturan mengenai jubah, peralatan, obat-obatan dan makanan; pemberian jubah Kathina setiap tahun; peraturan-peraturan bagi para Bhikkhu yang sakit; peraturan tentang tidur; peraturan tentang bahan jubah; tata cara melaksanakan Sanghakamma (upacara Sangha)
Kitab Suci Buddha (Tipitaka)
Tipitaka adalah kumpulan ajaran Buddha selama 45 tahun dalam bahasa Pāli. Terdiri dari Sutta-ajaran konvensional, Vinaya- kode disiplin, dan Abhidhamma- psikologi moral.
Tipitaka dihimpun dan disusun dalam bentuknya seperti saat ini oleh para Arahat yang memiliki kontak langsung dengan Sang Guru sendiri.
Sang Buddha wafat, namun Dhamma luhur yang ia wariskan secara terbuka kepada manusia tetap hidup dalam kemurniannya. Walaupun Sang Guru tidak meninggalkan catatan tertulis tentang ajaran-Nya, murid-murid-Nya yang terkemuka melestarikannya dengan jujur secara ingatan dan menurunkannya secara oral dari generasi ke generasi.
Segera setelah Sang Buddha wafat, 500 Arahat terkemuka mengadakan suatu sidang yang dikenal sebagai Dewan Buddhis Pertama untuk menyusun kembali doktrin yang diajarkan Sang Buddha. Yang Ariya Ananda, pendamping setia Sang Buddha yang berkesempatan khusus mendengarkan semua ceramah yang pernah dibabarkan Sang Buddha, menuturkan Dhamma, sementara Yang Ariya Upali menuturkan Vinaya, aturan tingkah laku Sangha.
Seratus tahun setelah Dewan Buddhis Pertama, pada masa Raja Kalasoka, sebagian murid memandang perlu untuk mengubah beberapa aturan kecil. Bhikkhu yang ortodoks berkata bahwa tidak ada yang perlu diubah sementara yang lain bersikeras untuk memodifikasi beberapa aturan disiplin (Vinaya). Akhirnya, tumbuhlah tradisi yang berbeda-beda setelah dewan ini. Dalam Dewan Buddhis Kedua, hanya hal-hal yang menyangkut Vinaya yang dibahas dan tidak ada kontroversi yang dilaporkan tentang Dhamma.
Pada abad ke-3 SM, selama masa Kaisar Asoka, Dewan Buddhis Ketiga diselenggarakan untuk membahas perbedaan-perbedaan pendapat yang dianut oleh komunitas Sangha. Dalam dewan ini perbedaan itu tidak dibatasi pada Vinaya, tetapi juga menyangkut Dhamma. Pada akhir dewan ini, Ketua Dewa, Yang Ariya Moggaliputta Tissa, menyusun sebuah buku yang disebut Kathavatthu yang menolak pandangan dan teori yang keliru dan murtad yang dianut sebagian murid. Ajaran itu disepakati dan diterima oleh dewan ini yang dikenal sebagai Theravada atau ‘Jalan Para Sesepuh’. Abhidhamma Pitaka dibahas dan dimasukkan dalam dewan ini. Dewan Buddhis Keempat diadakan di Sri Lanka pada tahun 80 SM di bawah perlindungan Raja Vattagamini Abbaya yang bajik. Pada masa ini di Sri Lanka Tipitaka untuk pertama kalinya dituliskan.
Harus ditekankan bahwa sementara penulisan berlanjut, tradisi dasar secara oral tetap dipertahankan. Setiap aspek ajaran dipertahankan dan dijunjung tinggi dalam ingatan daripada dalam catatan tertulis. Itulah sebabnya para murid dikenal sebagai pendengar, Savaka. Dengan mendengarkan, mereka mempertahankan ajaran dalam tradisi oral selama lebih dari 2.500 tahun.
Tipitaka terdiri dari tiga bagian ajaran Buddha. Bagian itu adalah Disiplin (Vinaya Pitaka), Ceramah (Sutta Pitaka), dan Doktrin Mutlak (Abhidhamma Pitaka).[1]
- 1. Vinaya Pitaka
Selama hampir dua puluh tahun sejak pencerahan-Nya, Sang Buddha tidak menetapkan aturan untuk mengendalikan Sangha. Pada kemudian hari, dengan terjadinya beberapa peristiwa dan bertambahnya jumlah pengikut, Sang Buddha mengumumkan aturan untuk disiplin masa depan Sangha.
Pitaka ini terdiri dari tiga bagian, yaitu:
● Sutta Vibhanga Kitab Sutta Vibhanga berisi peraturan-peraturan bagi para Bhikkhu dan Bhikkhuni, terdiri dari: → Bhikkhu Vibhanga: berisi 227 peraturan yang mencakup 8 jenis pelanggaran, diantaranya terdapat 4 pelanggaran yang menyebabkan dikeluarkannya seorang Bhikkhu dari Sangha dan tidak dapat menjadi Bhikkhu lagi seumur hidup. Keempat pelanggaran itu, adalah : berhubungan kelamin; mencuri; membunuh atau menganjurkan orang lain bunuh diri; membanggakan diri secara tidak benar tentang tingkat-tingkat kesucian atau kekuatan-kekuatan batin luar biasa yang dicapai. Untuk ketujuh jenis pelanggaran yang lain ditetapkan hukuman dan pembersihan yang sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang bersangkutan.
→ Bhikkhuni Vibhanga : berisi peraturan-peraturan yang serupa bagi para Bhikkhuni, hanya jumlahnya lebih banyak.
● Khandhaka Kitab Khandhaka terbagi atas Mahavagga dan Culavagga. → Kitab Mahavagga: berisi peraturan-peraturan dan uraian tentang upacara pentahbisan Bhikkhu; upacara uposatha pada saat bulan purnama dan bulan baru dimana dibacakan Patimokha (peraturan disiplin bagi para Bhikkhu); peraturan tentang tempat tinggal selama musim hujan (vassa); upacara pada akhir vassa (pavarana); peraturan-peraturan mengenai jubah, peralatan, obat-obatan dan makanan; pemberian jubah Kathina setiap tahun; peraturan-peraturan bagi para Bhikkhu yang sakit; peraturan tentang tidur; peraturan tentang bahan jubah; tata cara melaksanakan Sanghakamma (upacara Sangha)
pengertian dasar budha darma
Bab 1
PENDAHULUAN
Secara historis agama buddha mempunyai kaitan erat dengan agama yang mendahuluinya, tapi walaupun demikian agama buddha mempunyai perbedaan dengan agama yang mendahuluinya dan yang datang sesudahnya, Salah satunya agama hindu. Sebagai agama, ajaran buddha tidak bertitik tolak dari tuhan dan hubungannya dengan alam semesta dan seluruh isinya, termasuk manusia. Tetapi dari keadaan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya sehari-hari, khususnya tentang tata susila yang dihadapi dan dijalani manusia agar terbebas dari lingkaran dukka yang selalu mengiringi hidupnya. Dan dalam jangka waktu yang lama ini, masalah ketuhanan itupun belum mendapatkan perhatian yang semestinya.
Dalam alur sejarah agama di india, zaman agama buddha dimulai semenjak tahun 500 SM hingga tahun 300 M.[1] Berangkat dari titik tolak ajaran yang dikembangkan tersebut, banyak para peminat ilmu agama mempertanyakan apakah agama buddha dipandang sebagai agama, atau hanya salah satu aliran filsafat saja. Sejalan dengan itu edwarad conze menyatakan bahwa buddhisme dapat dianggap sebagai agama dan suatu aliran filsafat. Sebagai agama, buddhisme merupakan suatu bentuk organisasi dari cita-cita yang bersifat spiritual yang menolak adanya unsur kekuasaan duniawi, yang ajarannya mampu memberikan sukses dalam mengatasi dunia dan dalam mencapai keabadian ataupun kehidupan setelah mati. Sebagai suaatu aliran filsafat, kata conze, buddhisme bersifat dialektis pragmatis yang bercorak kejiwaan
Bab 1
PENDAHULUAN
Secara historis agama buddha mempunyai kaitan erat dengan agama yang mendahuluinya, tapi walaupun demikian agama buddha mempunyai perbedaan dengan agama yang mendahuluinya dan yang datang sesudahnya, Salah satunya agama hindu. Sebagai agama, ajaran buddha tidak bertitik tolak dari tuhan dan hubungannya dengan alam semesta dan seluruh isinya, termasuk manusia. Tetapi dari keadaan yang dihadapi manusia dalam kehidupannya sehari-hari, khususnya tentang tata susila yang dihadapi dan dijalani manusia agar terbebas dari lingkaran dukka yang selalu mengiringi hidupnya. Dan dalam jangka waktu yang lama ini, masalah ketuhanan itupun belum mendapatkan perhatian yang semestinya.
Dalam alur sejarah agama di india, zaman agama buddha dimulai semenjak tahun 500 SM hingga tahun 300 M.[1] Berangkat dari titik tolak ajaran yang dikembangkan tersebut, banyak para peminat ilmu agama mempertanyakan apakah agama buddha dipandang sebagai agama, atau hanya salah satu aliran filsafat saja. Sejalan dengan itu edwarad conze menyatakan bahwa buddhisme dapat dianggap sebagai agama dan suatu aliran filsafat. Sebagai agama, buddhisme merupakan suatu bentuk organisasi dari cita-cita yang bersifat spiritual yang menolak adanya unsur kekuasaan duniawi, yang ajarannya mampu memberikan sukses dalam mengatasi dunia dan dalam mencapai keabadian ataupun kehidupan setelah mati. Sebagai suaatu aliran filsafat, kata conze, buddhisme bersifat dialektis pragmatis yang bercorak kejiwaan
Langganan:
Postingan (Atom)