Kitab Suci Buddha (Tipitaka)
Tipitaka adalah kumpulan ajaran Buddha selama 45 tahun dalam bahasa Pāli. Terdiri dari Sutta-ajaran konvensional, Vinaya- kode disiplin, dan Abhidhamma- psikologi moral.
Tipitaka dihimpun dan disusun dalam bentuknya seperti saat ini oleh para Arahat yang memiliki kontak langsung dengan Sang Guru sendiri.
Sang Buddha wafat, namun Dhamma luhur yang ia wariskan secara terbuka kepada manusia tetap hidup dalam kemurniannya. Walaupun Sang Guru tidak meninggalkan catatan tertulis tentang ajaran-Nya, murid-murid-Nya yang terkemuka melestarikannya dengan jujur secara ingatan dan menurunkannya secara oral dari generasi ke generasi.
Segera setelah Sang Buddha wafat, 500 Arahat terkemuka mengadakan suatu sidang yang dikenal sebagai Dewan Buddhis Pertama untuk menyusun kembali doktrin yang diajarkan Sang Buddha. Yang Ariya Ananda, pendamping setia Sang Buddha yang berkesempatan khusus mendengarkan semua ceramah yang pernah dibabarkan Sang Buddha, menuturkan Dhamma, sementara Yang Ariya Upali menuturkan Vinaya, aturan tingkah laku Sangha.
Seratus tahun setelah Dewan Buddhis Pertama, pada masa Raja Kalasoka, sebagian murid memandang perlu untuk mengubah beberapa aturan kecil. Bhikkhu yang ortodoks berkata bahwa tidak ada yang perlu diubah sementara yang lain bersikeras untuk memodifikasi beberapa aturan disiplin (Vinaya). Akhirnya, tumbuhlah tradisi yang berbeda-beda setelah dewan ini. Dalam Dewan Buddhis Kedua, hanya hal-hal yang menyangkut Vinaya yang dibahas dan tidak ada kontroversi yang dilaporkan tentang Dhamma.
Pada abad ke-3 SM, selama masa Kaisar Asoka, Dewan Buddhis Ketiga diselenggarakan untuk membahas perbedaan-perbedaan pendapat yang dianut oleh komunitas Sangha. Dalam dewan ini perbedaan itu tidak dibatasi pada Vinaya, tetapi juga menyangkut Dhamma. Pada akhir dewan ini, Ketua Dewa, Yang Ariya Moggaliputta Tissa, menyusun sebuah buku yang disebut Kathavatthu yang menolak pandangan dan teori yang keliru dan murtad yang dianut sebagian murid. Ajaran itu disepakati dan diterima oleh dewan ini yang dikenal sebagai Theravada atau ‘Jalan Para Sesepuh’. Abhidhamma Pitaka dibahas dan dimasukkan dalam dewan ini. Dewan Buddhis Keempat diadakan di Sri Lanka pada tahun 80 SM di bawah perlindungan Raja Vattagamini Abbaya yang bajik. Pada masa ini di Sri Lanka Tipitaka untuk pertama kalinya dituliskan.
Harus ditekankan bahwa sementara penulisan berlanjut, tradisi dasar secara oral tetap dipertahankan. Setiap aspek ajaran dipertahankan dan dijunjung tinggi dalam ingatan daripada dalam catatan tertulis. Itulah sebabnya para murid dikenal sebagai pendengar, Savaka. Dengan mendengarkan, mereka mempertahankan ajaran dalam tradisi oral selama lebih dari 2.500 tahun.
Tipitaka terdiri dari tiga bagian ajaran Buddha. Bagian itu adalah Disiplin (Vinaya Pitaka), Ceramah (Sutta Pitaka), dan Doktrin Mutlak (Abhidhamma Pitaka).[1]
- 1. Vinaya Pitaka
Selama hampir dua puluh tahun sejak pencerahan-Nya, Sang Buddha tidak menetapkan aturan untuk mengendalikan Sangha. Pada kemudian hari, dengan terjadinya beberapa peristiwa dan bertambahnya jumlah pengikut, Sang Buddha mengumumkan aturan untuk disiplin masa depan Sangha.
Pitaka ini terdiri dari tiga bagian, yaitu:
● Sutta Vibhanga Kitab Sutta Vibhanga berisi peraturan-peraturan bagi para Bhikkhu dan Bhikkhuni, terdiri dari: → Bhikkhu Vibhanga: berisi 227 peraturan yang mencakup 8 jenis pelanggaran, diantaranya terdapat 4 pelanggaran yang menyebabkan dikeluarkannya seorang Bhikkhu dari Sangha dan tidak dapat menjadi Bhikkhu lagi seumur hidup. Keempat pelanggaran itu, adalah : berhubungan kelamin; mencuri; membunuh atau menganjurkan orang lain bunuh diri; membanggakan diri secara tidak benar tentang tingkat-tingkat kesucian atau kekuatan-kekuatan batin luar biasa yang dicapai. Untuk ketujuh jenis pelanggaran yang lain ditetapkan hukuman dan pembersihan yang sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang bersangkutan.
→ Bhikkhuni Vibhanga : berisi peraturan-peraturan yang serupa bagi para Bhikkhuni, hanya jumlahnya lebih banyak.
● Khandhaka Kitab Khandhaka terbagi atas Mahavagga dan Culavagga. → Kitab Mahavagga: berisi peraturan-peraturan dan uraian tentang upacara pentahbisan Bhikkhu; upacara uposatha pada saat bulan purnama dan bulan baru dimana dibacakan Patimokha (peraturan disiplin bagi para Bhikkhu); peraturan tentang tempat tinggal selama musim hujan (vassa); upacara pada akhir vassa (pavarana); peraturan-peraturan mengenai jubah, peralatan, obat-obatan dan makanan; pemberian jubah Kathina setiap tahun; peraturan-peraturan bagi para Bhikkhu yang sakit; peraturan tentang tidur; peraturan tentang bahan jubah; tata cara melaksanakan Sanghakamma (upacara Sangha)
; dan tata cara dalam hal terjadi perpecahan. → Kitab Culavagga: berisi peraturan-peraturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran; tata cara penerimaan kembali seorang Bhikkhu ke dalam Sangha setelah melakukan pembersihan atas pelanggarannya; tata cara untuk menangani masalah-masalah yang timbul; berbagai peraturan yang mengatur cara mandi, pengenaan jubah, menggunakan tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam dan sebagainya; mengenai perpecahan kelompok-kelompok Bhikkhu; kewajiban-kewajiban guru (acariya) dan calon Bhikkhu (samanera); pengucilan dari upacara pembacaan Patimokkha; pentahbisan dan bimbingan bagi Bhikkhuni; kisah mengenai Pasamuan Agung Pertama di Rajagaha; dan kisah mengenai Pasamuan Agung Kedua di Vesali.
● Parivara Kitab Parivara memuat ringkasan dan pengelompokan peraturan-peraturan Vinaya, yang disusun dalam bentuk tanya jawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.[2]
- 2. Sutta Pitaka
Kitab ini dibagi menjadi lima Nikaya atau kumpulan, yaitu :
- Digha Nikaya (Kumpulan Ceramah Panjang)
- Majjhima Nikaya (Kumpulan Ceramah Sedang)
- Samyutta Nikaya (Kumpulan Ujaran Setara)
- Anguttara Nikaya (Kumpulan Ujaran Berurutan)
- Khuddaka Nikaya (Kumpulan Kecil)
Kitab kelima dibagi lagi menjadi 15 risalat :
- Khuddaka Patha (Naskah Pendek)
- Dhammapada (Jalan Kebenaran)
- Udana (Ungkapan Kegembiraan)
- Itivuttaka (Ceramah)
- Sutta Nipata (Kumpulan Ceramah)
- Vimana Vatthu (Cerita Kediaman Surgawi)
- Peta Vatthu (Cerita Makhluk Peta)
- Theragatha (Syair Para Bhikhu)
- Therigatha (Syair Para Bhikkhuni)
11. Niddesa (Penjelasan Terperinci)
12. Patisambhida Magga (Pengetahuan Analitis)
13. Apadana (Kehidupan Arahat)
14. Buddhavamsa (Riwayat Para Buddha)
15. Cariya Pitaka (Bunga Rampai Perilaku)
- 3. Abhidhamma Pitaka
Dalam Abhidhamma, segala sesuatu dianalisis dan dijelaskan secara rinci, dan hal demikian disebut Doktrin Analitis (Vibhajja Vada). Empat hal mutlak (Paramattha) diuraikan satu per satu dalam Abhidhamma. Keempat hal itu adalah Citta (Kesadaran), Cetasika (Faktor Mental), Rupa (Bentuk), dan Nibbana.
1. Dhammasangani, terutama menguraikan etika dilihat dari sudut pandangan ilmu jiwa.
2. Vibhanga, menguraikan apa yang terdapat dalam buku Dhammasangani dengan metode yang berbeda. Buku ini terbagi menjadi delapan bab (vibhanga), dan masing-masing bab mempunyai tiga bagian : Suttantabhâjaniya, Abhidhannabhâjaniya dan Pññâpucchaka atau daftar pertanyaan-pertanyaan.
3. Dhâtukatha, terutama membicarakan mengenai unsur-unsur batin. Buku ini terbagi menjadi empat belas bagian.
4. Puggalapaññatti, menguraikan mengenai jenis-jenis watak manusia (puggala), yang dikelompokkan menurut urutan bernomor, dari kelompok satu sampai dengan sepuluh, sepserti sistim dalan Kitab Anguttara Nikâya.
5. Kathâvatthu, terdiri atas dua puluh tiga bab yang merupakan kumpulan percakapan-percakapan (kathâ) dan sanggahan terhadap pandangan-pandangan salah yang dikemukakan oleh berbagai sekte tentang hal-hal yang berhubungan dengan theologi dan metafisika.
6. Yamaka, terbagi menjadi sepuluh bab (yang disebut Yamaka) : Mûla, Khandha, Âyatana, Dhâtu, Sacca, Sankhârâ, Anusaya, Citta, Dhamma dan Indriya.
7. Patthana, menerangkan mengenai "sebab-sebab" yang berkenaan dengan dua puluh empat Paccaya (hubungan-hubungan antara batin dan jasmani).
Gaya bahasa dalam Kitab Abhidhamma Pitaka bersifat sangat teknis dan analitis, berbeda dengan gaya bahasa dalam Kitab Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka yang bersifat naratif, sederhana dan mudah dimengerti oleh umum.
Pada dewasa ini bagian dari Tipitaka yang telah diterjemahkan dan dibukukan ke dalam bahasa Indonesia baru Kitab Dhammapada dan beberapa Sutta dari Dîgha Nikâya.[3]
- B. Catur Arya Satyani (Empat Kebenaran Mulia)
- Kesunyataan tentang Dukkha (Dukkha Ariya-Sacca)
- Kelahiran, usia lanjut dan kematian adalah Dukkha.
- Timbulnya kesedihan, ratap tangis, kesakitan, kesengsaraan, putus asa adalah Dukkha.
- Keinginan yang tak tercapai adalah Dukkha.
- Kehilangan sesuatu yang dicintai/disukai dan berkumpul/dekat dengan yang dibenci adalah Dukkha.
- Masih banyak lagi lain-lainnya yang menimbulkan Dukkha.
- Kesunyataan tentang Asal-Mula Dukkha (Dukkha Samudaya AriyaSacca)
- Kesunyataan tentang Lenyapnya Dukkha (Dukkhanirodha AriyaSacca)
- Dukkha hanya dapat lenyap dengan padamnya nafsu keinginan dan padamnya arus kekotoran bathin, yang berarti terhentinya proses tumimbal-lahir dan tercapainya Nibbana.
- Apa yang diterangkan di poin a diatas bukanlah hanya teori belaka, namun itu mengandung satu pengertian bahwa gerak kehidupan yang dilakukan setiap saat memiliki batas-batas kemampuan berdasarkan daya tangkap perasaan, pikiran dan perbuatan kita. Selama perasaan, pikiran dan perbuatan kita tidak dibiarkan bekerja terus sampai melampaui batas-batas kemampuan, maka selama itu pula kita dapat terbebas dari segala penderitaan atau Dukkha.
- Kesunyataan tentang Jalan Berakhirnya Dukkha (Dukkhanirodhagaminipatipada AriyaSacca)
- Harus memiliki pandangan yang benar.
- Harus memiliki pikiran yang benar.
- Harus memiliki ucapan yang benar.
- Harus memiliki perbuatan yang benar.
- Harus memiliki mata pencaharian yang benar.
- Harus memiliki daya-upaya yang benar.
- Harus memiliki perhatian yang benar.
- Harus memiliki konsentrasi yang benar.[4]
- Penderitaan karena cengkeraman bentuk-bentuk lain
- Penderitaan karena cengkeraman ketidakkekalan
- Penderitaan karena cengkeraman kesakitan
v Karma tanha: keinginan untuk menikmati nafsu indra
v Bhava tanha: keinginan untuk dilahirkan
v Vibhava tanha: keinginan untuk memusnahkan diri
Yang dimaksud dengan Kesunyataan mulia tentang lenyapnya penderitaan ialah dimana tanha telah dapat disingkirkan secara menyeluruh. Singkatnya telah mencapai Nirvana.[5]
Jalan Ariya Beruas Delapan, jalan menuju akhir penderitaan, merupakan terapi terpadu yang dirancang untuk menyembuhkan penyakit Samsara melalui pengembangan ucapan dan perbuatan moral, pengembangan pikiran, dan transformasi sempurna tingkat pemahaman dan kualitas pikiran seseorang. Hal ini menunjukkan jalan untuk memperoleh kematangan spiritual dan terbebas sepenuhnya dari penderitaan.
Jalan Ariya Beruas Delapan terdiri dari delapan faktor berikut :
Sila
Ucapan Benar
Perbuatan Benar
Penghidupan Benar
Moralitas
Samadhi
Usaha Benar
Perhatian Benar
Konsentrasi Benar
Latihan Mental
Panna
Pandangan Benar
Pikiran Benar
Kebijaksanaan
- C. Hukum Karma
Kamma dapat dibilang dalam bahasa anak-anak yang sederhana; berbuatlah baik dan kebaikan akan datang padamu, sekarang dan sesudahnya. Berbuatlah jahat dan kejahatan akan datang padamu, sekarang dan sesudahnya.
Dalam bahasa penuai, kamma dapat dijelaskan dengan cara ini; jika kamu menabur benih yang baik, kamu akan menuai panen yang baik. Jika kamu menabur benih yang buruk, kamu akan menuai panen yang buruk.
Dalam Dhammapada, kamma dijelaskan dengan cara ini; “Pikiran adalah pelopor segala kebaikan dan kejahatan. Jika engkau berbicara dan bertindak dengan pikiran yang buruk, maka ketidakbahagiaan mengikutimu seperti roda pedati mengikuti kuku sapi. Jika engkau berbicara atau bertindak dengan pikiran yang baik, maka kebahagiaan mengikutimu seperti bayang-bayang yang tak pernah meninggalkanmu.”[6]
Semua perbuatan menimbulkan akibat dan akibat ini merupakan pula sebab yang akan menghasilkan akibat lain, dan begitulah seterusnya, sehingga kamma juga disebut sebagai hukum sebab-akibat. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dengan perbuatan kita, supaya akibatnya senantiasa bersifat baik, seperti menolong makhluk dan membahagiakannya, sehingga perbuatan itu akan membawa suatu kamma-vipaka (akibat-kamma) yang baik dan memberikan kepada kita untuk melakukan kamma yang lebih baik lagi.
YMS Budha Gotama bersabda dalam kitab Samyutta Nikaya 1: 227 berbunyi sebagai berikut:
“Sesuai dengan benih yang telah ditabur
Begitu pula buah yang akan dipetiknya
Pembuat kebaikan akan mendapat kebaikan
Pembuat kejahatan akan memetik kejahatan pula
Tertaburlah olehmu biji-bijian, dan engkau pulalah yang akan merasakan buah-buah daripadanya.”
Menurut Sang Buddha, kamma bukan ditakdirkan atau ditentukan pada kita oleh suatu kekuasaan atau kekuatan misterius di mana kita harus berpasrah diri tanpa daya. Umat Buddha percaya bahwa seseorang akan menuai apa yang sudah ia tabur; kita saat ini adalah hasil dari diri kita pada masa sebelumnya, dan kita nanti akan menjadi hasil diri kita saat ini. Kekuatan kamma tidak dapat dikendalikan dengan berdiam diri. Berbagai aktivitas untuk kebaikan sangat diperlukan demi kebahagiaan seorang itu sendiri. Pelarian adalah sumber kelemahan, dan seorang pelarian tidak akan dapat lari dari efek hukum kamma.
Sang Buddha berkata, “Tidak ada tempat sembunyi untuk melarikan diri dari hasil kamma.” (Dhammapada 127)
Faktor yang mendukung Karma
Menurut ajaran Buddha, ada lima kaidah atau proses hukum alam (niyama) yang bekerja dalam dunia fisik dan mental :
- Utu Niyama
- Bija Niyama
- Kamma Niyama
- Dhamma Niyama
- Citta Niyama
Peranan Cetana dalam Kamma
Cetana adalah akar dari perbuatan baik maupun buruk. Maka, apabila cetana berhubungan dengan kesadaran/citta yang berakar pada dosa, akan timbullah perbuatan yang doilakukan oleh pikiran, ucapan dan tindakan yang buruk, kemudian sebagai akibatnya ialah dimiliknya bentuk-bentuk kamma yang buruk, dan sebaliknya.
Syarat-syarat suatu perbuatan yang dapat disebut Kamma
Suatu perbuatan yang dapat disebut kamma yaitu apabila memenuhi syarat:
- Terjadinya itu karena adanya cetana
- Perbuatan yang dilaksanakan berdasarkan kesadaran atau dengan sengaja.
Menurut Sang Budha, keberadaan tidak ditentukan oleh nasib atau takdir. Menurut apa yang dilukiskan oleh Sang Budha, karma adalah hukum tanpa pengadilan dan konsekuensi yang tak memihak, atau secara lebih sederhana adalah hukum tentang akibat yang mengikuti sebab.
Kita semua menderita atau menikmati buah hasil dari perbuatan kita dimasa lalu., maka memuja atau membenci orang lain, atau menyesali keberuntungan bukanlah tindakan yang berguna. Yang mungkin ada gunanya adalah kita menjalankan delapan ruas jalan suci, menggali sikap yang benar sehingga menghasilkan karma yang positif, dan mungkin akhirnya membebaskan diri kita sendiri dari ketidaktahuan. Kalau seseorang menjalani hidup yang sehat, sedangkan orang lain menderita penyakit, lalau seseorang panjang umur yang lain mati muda dan sebagainya; maka dalam hal ini tak ada campur tangan para dewa, hanyalah sebab akibat semata.[8]
Dua aspek hukum karma adalah salah satu ajaran penting dalam agama Budha. Umat Budha memandang hukum karma sebagai hukum universal tentang sebab akibat yang juga hukum moral yang impersonal. Menurut hukum ini sesuatu (yang hidup, yang tak hidup maupun yang abstrak atau yang ada karena kita buat dalam pikiran sebagai ide) yang muncul pasti ada sebabnya. Tidak ada sesuatu yang muncul dari ketidakadaan. Dengan kata lain, tidak ada sesuatu atau makhluk yang muncul tanpa ada sebab dahulu. Berbicara tentang ‘konsekuensi’ atau ‘akibat’ bila sesuatu itu tergantung pada kejadian yang mendahuluinya dan kejadian mula yang menghasilkan kejadian berikutnya disebut ‘sebab’.
Prinsip dasar dari hukum karma adalah barang siapa yang menanam maka dia yang akan memetik hasilnya apakah hasil itu baik atau buruk. Ajaran karma Budhis sebagai hukum moral yang menitikberatkan pada perbuatan-perbuatan manusia yang dilakukan melalui perbuatan jasmani, ucapan, dan pikiran.
Perbuatan-perbuatan itu diklasifikasikan sebagai karma bila suatu perbuatan dilakukan karena adanya niat atau kehendak (cetana). Suatu perbuatan tanpa niat atau kehendak tidak dapat disebut karma karena perbuatan itu tidak akan menghasilkan akibat moral baginya. Misalnya, menurut pandangan umum adalah benar bila seseorang membunuh binatang buruannya. Tetapi pembunuhan itu tidak benar menurut hukum moral. Menurut pandangan moral Budhis suatu pembunuhan adalah pelanggaran hukum moral, pembunuhan ini dipandang sebagai perbuatan karma buruk. Ajaran agama Budha menganjurkan kita untuk mengembangkan perasaan cinta kasih (metta) dan kasih sayang (karuna) terhadap semua makhluk.
Fungsi hukum karma, seseorang yang memiliki keyakinan yang teguh kepada hukum karma akan selalu melakukan perbuatan baik demi kebaikan tanpa memperdulikan akibat dari perbuatannya, karena ia selalu yakin bahwa baik akan selalu berakibat baik. Melakukan perbuatan baik demi kebaikan merupakan cara yang ideal dari ajaran hukum karma Budhis.
Pembagian Karma
Pembagian karma oleh Buddhagosa ini didasarkan pada kata-kata Sang Budha yang tersebar dalam kitab Suci Tipitaka yaitu sebagai berikut:
1) Karma menurut waktu
2) Karma menurut kekuatan
3) Karma menurut fungsi
Masing-masing golongan ini terdiri dari empat macam, dan bila disatukan menjadi dua belas macam. Kadang-kadang semuanya disebut dua belas karma. Kedua belas karma ini dapat bersifat baik (kusala) atau buruk (akusala).
- 1. Karma menurut waktu
♠ Ditthadahammavedaniya-kamma, adalah karma yang memberikan akibatnya pada masa kehidupan sekarang ini juga.
Menurut Visuddimagga,apabila karma ini tidak menghasilkan akibatnya dalam kehidupan sekarang maka karma ini menjadi tak efektif (ahosi: lihat Visuddhimagga hal. 697). Karma ini tergolong amat kuat karena dapat menghasilkan akibatnya dalam kehidupan sekarang. Pelakunya akan mengalami akibatnya dalam kehidupan sekarang juga.
Perbuatan: kehidupan sekarang
Akibat: kehidupan sekarang
- Uppajjavedaniya-kamma, adalah karma yang akibatnya dialami dalam kehidupan setelah hidup sekarang ini. Karama ini menggantikan karma “sekarang” sejak saat kematian seseorang dan terus menghasilkan akibatnya dalam kehidupan yang bari selama tak ada intervensi dari karma lain yang lebih kuat.
Perbuatan: kehidupan sekarang
Akibat: kehidupan berikut setelah kehidupan sekarang
- Aparaparavedaniya-kamma, adalah karma yang akibatnya akan dialami dalam kehidupan-kehidupan berikutnya. Karma ini dikatakan tak akan pernah berakhir dan terus mengejar pelakunya tanpa mengenal lelah; tak akan pernah berhenti pengejarannya sampai sang kurban menjadi lelah.
Akibat: kehidupan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya.
- Ahosi-kamma, adalah karma yang tidak member akibat karena jangka waktunya untuk memberikan akibat telah habis atau karena karma tersebut telah menghasilkan akibatnya dan secara penuh sehingga kekuatannya habis sendiri. Misalnya, seperti sesendok garam (karma buruk) yang dimasukkan dalam danau besar (karma baik yang tak dapat merubah air danau menjadi asin).
- 2. Karma menurut kekuatan
- Garru kamma, adalah karma yang paling berat diantara semua karmalainnya karena sifatnya yang amat kuat. Selama karma ini masih menghasilkan akibatnya, tak ada karma lainnya yang berkesempatan untuk menghasilkan akibatnya (menjadi masak).
Pada seginnya yang baik (kusala) guru-kamma dimaksudkan pada delapan pencapaian tingkat samadhi, yaitu:
Empat tingkat rupa jhana:
- Bahula-kamma, adalah karma yang sering dan berulang-ulang dilakukan oleh seseorang melalui saluran badan jasmani, ucapan, dan pikiran, sehingga tertimbun dalam wataknya. Karma ini akan memberikan akibatnya terlebih dahulu apabila seseorang tidak melakukan garu-kamma.
- Asannamarana-kamma, adalah karma yang diperbuat seseorang pada saat menjelang kematian, atau dapat pula berupa perbuatan yang dahulu dilakukan, lali ingat kembali dengan amat jelas saat duambang kematiannya. Bila seseorang terbiasa melakukan kejahatan untuk waktu yang lama, maka ia kemungkinan melewati karma ini, tetapi apabila ia melakukan kebaikan sepanjang hidupnya, maka sedikit kemungkinan untuk merasakan kamma yang jelek. Menurut Budha, karma ini amat menentukan macam kelahiran mendatang dari orang yang sedang berada diambang pintu kematian, yang apakah ia akan dilahirkan kembali dala, alam sengsara atau alam bahagia tergantng pada karma ini.
- Kattata-kamma, adalah suatu perbuatan yang dilakukan berdasarkan kehendak tertentu, dan perbuatan ini dilakukan hanya sekali saja atau beberapa kali, namun bukan perbuatan yang dilakukan terus-menerus seperti pada Bahula atau Accina-kamma. Misalnya, seseorang yang memberikan makanan kepada orang lain, dan dilakukan hanya sekali atau dua kali sebulan. Begitu pula dengan orang lain yang melakukan perbuatan salah seperti membunuh, berdusta dll. Perbuatan jahat yang dilakukan hanya sekali atau beberapa kali. Semua perbuatan negative diatas dikelompokkan dalam kattata-kamma.
- Karma menurut fungsi
- Janaka-kamma (karma penghasil), adalah karma yang berfungsi menghasilkan.karma macam ini dapat dibandingkan dengan seorang ayah-ibu dalam fungsinya membawa seorang dalam kelahiran baru. Menurut Budha, apabila janaka-kamma telah menyebabkan suatu kelahiran, maka tugasnya sebagai karma penghasil berakhir.
- Upattahambhaka-kamma (karma penguat), adalah karma yang berfungsi membantu memperkuat apa yang telah dihasilkan oleh janaka-kamma sesuai dengan macam dan sifatnya. Jadim apabila janaka-kamma baik, kamma penguat ini membantu sehingga keadaanya lebih baik; demikian pula sebaliknya.
- Uppapilika-kamma (karma-pelemah), adalah karena yang berfungsi menandingi pengaruh dari apa yang telah dihasilkan oleh janaka-kamma, memperlemah kekuatannya atau mempersingkat waktunya dalam menghasilkan akibatnya. Apabila janaka-kamma menjadikan seorang memilikisuatu kelahiran yang baik, karma pelemah ini akan mengurangi kesempatan, yang dimiliki dalam suatu kelahiran demikian, demikian pula sebaliknya.
- Upaghataka-kamma (karma penghancur), adalah karma yang mempunyai kategori sama dengan karma pelemah di atas, karena fungsinya menentang atau menghancur kekuatan dari janaka-kamma. Akan tetapi, karma ini mempunyai kekuatan lebih besar daripada karma pelemah.[9]
Pelajaran yang diperoleh dari Kamma
Bilamana kita hidup dalam penerangan hukum kamma, maka akan dapat memetik pelajaran yang indah dan bermanfaat, antara lain:
- Kesabaran, hukum kamma adalah pelindungm kita, bila hidup kita selaras dengan hukum tersebut, maka tidak ada suatu yang dapat menimpa, merugikan atau mencelakakan kita. Kesabaran membawa ketenangan, ketentraman, kebahagiaan diri kita.
- Keyakinan, ragu-ragu dan gelisah adalah tanda, bahwa terdapat kurang pengertian dan keyakinan akan kebenaran hukum kamma. Hukum kamma membuat orang berdiri diatas kakinya sendiri dan meneguhkan keyakinan akan kemampuan diri sendiri.
- Pengendalian diri, perbuatan jahat akan kembali menimpa kita sebagai mala petaka, kayakinan kita dengan kamma akan membuat kita mampu untuk mengendalikan diri, terutama keinginan untuk kejahatan.[10]
Segala keadaan yang ada pada diri seseorang, kaya, miskin, cantik, jelek, pandai, bodoh, dan sebagainya adalah karena hasil dari hukum karma masing-masing. Semua makhluk mewarisi dan memiliki karmanya masing-maisng, terlahir dari karmanya sendiri, serta terlindungi oleh karmanya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
- Dhamananda, Sri, Keyakinan Umat Buddha, Yayasan Pustaka Karaniya, 2005.
- Maha Pandita Sumedha Widyadharma, Dhamma-Sari, Jakarta: Yayasan Kanthaka Kencana, 1980.
- Marga Singgih, D.S., Tridharma Suatu Pengantar, Jakarta: Bakti, 1995.
- Stokes, Gillian, Budha: Seri Siapa Dia?, Jakarta: Erlangga, 2001.
- Sumantri, M.U., Kebahagiaan dalam Dhamma, Majelis Budhayana Indonesia, 1980.
- Wowor, Carnelis, MA., Hukum Karma Budhis, Jakarta: CV. Nitra Kencana Buana, 2004.
- www.dhammacitta.org
- www.samaggi-phala.or.id
[1] Sri Dhamananda, Keyakinan Umat Hindu, hal.88-90
[2] www.dhammacitta.org
[3] www.samaggi-phala.or.id
[4] M.U Sumantri, Kebahagiaan dalam Dhamma, hal. 62-66
[5] D. S. Marga Singgih, Tridharma Suatu Pengantar, hal.8-9
[6] Sri Dhamananda, Keyakinan Umat Buddha, hal.123
[7] Maha Pandita Sumedha Widyadharma, Dhamma-Sari, hal.104
[8] Gillian Stokes, Budha: Seri Siapa Dia?,hal. 62-64
[9] Carnelis Wowor MA, Hukum Karma Budhis, hal. 1-65
[10] M.U Sumantri, Kebahagiaan Dalam Dhamma, hal. 191
Tidak ada komentar:
Posting Komentar