TILAKHANA, PATTICA SAMMUPPADA,
TUMIMBAL LAHIR DAN NIBBANA
A. Tilakkhana
Tilakkhana artinya Tiga Corak yang universil dan ini termasuk Hukum kesunyataan, berarti bahwa hokum ini berlaku di mana – mana dan pada setiap waktu. Jadi Hukum ini tidak terikat oleh waktu dan tempat.[1]
- Sabbe Sankhara Anicca
b. Sabbe Sankha Dukkha

c. Sabbe Dhamma Anatta
Segala sesuatu yang bersyarat maupun yang tidak bersyarat ( Nibbana ) adalah tanpa inti yang kekal, karena tanpa pemilik dan juga tidak dapat dikuasai. Disamping
paham Anatta yang khas ajaran YMS Buddha Gotama, terdapat pula dua paham
lainnya yaitu :
1. Attavada, ialah
paham bahwa atma ( roh ) adalah kekal abadi dan akan berlangsung sepanjang
masa. Paham ini tidak dibenarkan oleh YMS Buddha Gotama.
2. Ucchedavada,
ialah paham bahwa setelah mati atma ( roh ) itu pun akan ikut lenyap. Paham ini
juga tidak dibenarkan oleh YMS Buddha Gotama. Tiga Corak Umum Yaitu : Anicca, Dukkha dan Anatta.
a. Anicca
Kata anicca berarti Tidak kekal, yaitu segala sesuatu yang ada di alam semesta ini terus menerus mengalami perubahan. Terdapatlah dua factor, yaitu pembentukan ( uppada ) dan penghancuran ( nirodha )yang berlangsung terus menerus, yang tidak pernah berhenti walau sekejap pun. Di dalam kitab suci Tipitaka mengatakan, bilamana seorang telah menebus kesunyataan atau Dhamma, ia akan menyadari, segala sesuatu yang terbentuk pasti akan lenyap kembali.
b. Dukkha
Pembahasan yang kedua dari Tilakkhana atau tiga corak umum, ialah tentang kenyataan dari Dukka atau penderitaan, merupakan corak yang khas dari semua kehidupan (samsara), yaitu tentang ketidakpuasan pada umumnya. Arti istilah Dukkha yang dimaksudkan dalam pandangan di bidang filsafat umum, adalah suatu perasaan atau pikiran yang tidak puas, yang timbul karena tidak tercapainya suatu keinginan atau yang timbul karena perubahan – perubahan yang senantiasa terjadi di dalam diri maupun diluar diri kita. Menurut YMS Buddha Gotama, bahwa permulaan, kelangsungan dan pengakhiran dari suatu keadaan yaitu seluruh alam (loka) dari setiap makhluk hidup,adalah berpusat pada pribadinya sendiri, yakni kelima kelompok kehidupan merupakan pribadi, yaitu terdiri atas jasmani, perasaan, pencerapan, sankhara ( bentuk pikiran ) dan kesadaran. Jelas bahwa bentuk jasmani adalah salah satu unsure pribadi yang dapat dilihat.Yang menimbulkan Dukkha menurut Hukum Paticca Sammuppada yaitu :
1. Tanha Diikuti Oleh Upadana

2. Upadana Diikuti oleh Bhava
Bhava sesungguhnya yang berarti terbentuk dan disini diartikan sebagai terbentuknya proses kehidupan kita. Maka bergantung kepada Upadana terbentuknya proses kehidupan kita.
3. Bhava Diikuti oleh Jati, Jaramarana
Jika Bhava ( proses kehidupan atau arus penjelmaan ) ini terbentuk, maka timbullah kelahiran, usia tua, kematian, mengalami kesuksesan atau kegagalan, dengan demikian timbulah segala macam penderitaan.
c. Anatta
Anatta ini, adalah suatu corak yang universal, yang meliputi semua keadaan dari bentuk–bentuk jasmani dan rohani. Untuk lebih jelasnya, marilah kita hubungkan beberapa masalah dengan Anatta :
1. Substansi Zat
2. Aku– Diri – Ego
3. Yang sama atau berbeda
4. Apakah manusia itu
5. Pancakkhandha atau lima kelompok kehidupan
6. Tumimbal Lahir ( kelahiran kembali )
7. Prinsip yang menggerakan hidup
8. Keadaan bathin atau jiwa atau rohani
9. Apa yang dilupakan tidak lenyap sama sekali
10. Bawah sadar kita sanga giat bekerjanya
Dari uraian diatas jelas bahwa ketiga pengertian dari Anicca, Dukkha, Anatta adalah merupakan tiga batu pilar dari semua bangunan agama Buddha.
B. Pattica Samuppada
1. Bunyi
hokum Pattica Samuppada Perkataan pattica samuppada terdiri atas : Pattica
artinya disyaratkan dan kata Samuppada artinya muncul bersamaan. Jadi perkataan
pattica samuppada artinya kurang lebih yaitu muncul bersamaan karena syarat
berantai, atau terjemahan yang sering terlihat dalam buku – buku, yaitu Pokok
permulaan sebab akibat yang saling bergantungan. Prinsip dari ajaran hokum pattica
samuppada diberikan dalam empat rumus / formula pendek yang berbunyi sebagai
berikut :
1. Imasming sati idang hoti Dengan adanya ini, maka terjadilah itu.
2. Imassupada idang uppajjati Dengan timbulnya ini, maka timbullah itu
3. Imasming asati idang na hoti Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu
4. Imassa nirodha idang nirujjati Dengan terhentinya ini, maka terhentilah juga itu
Berdasarkan prinsip dari saling menjadikan relativitas, dan saling bergantungan, maka seluruh kelangsungan dan kelanjutan hidup, dan juga berhentinya hidup telah diterangkan dalam satu rumus / formula dari dua belas pokok yang dikenal sebagai patticasamuppada. Kedua belas pokok itu berbunyi sebaga berikut :
1. Avijja paccaya sankhara
Dengan adanya ketidaktahuan, maka terjadilah benuk-bentuk kamma
2. Sankhara paccaya vinnanang
Dengan adanya bentuk – bentuk kamma, maka terjadilah kesadaran
3. Vinnana paccaya namarupang
Dengan adanya kesadaran, maka terjadilah rohani – jasmani
4. Namarupa paccaya salayatanang
Dengan adanya rohani – jasmani, maka terjadilah enam landasan indriya
5. Salayatana paccaya phasso
Dengan adanya enam landasan indriya, maka terjadilah kontak / kesan – kesan
6. Phassa paccaya vedana
Dengan adanya kontak / kesan, maka terjadilah perasaan
7. Vedana paccaya tanha
Dengan adanya perasaan, maka terjadilah keinginan / kehausan
8. Tanha paccaya upadanang
Dengan adanya tanha, maka terjadilah kemelekatan
9. Upadana paccaya bhavo
Dengan adanya kemelekatan, maka terjadilah proses penjelmaan
10. Bhava paccaya jati
Dengan adanya proses penjelmaan, maka terjadilah kelahiran
11. Jati paccaya jaramaranang
Dengan adanya tumimbal lahir, maka terjadilah kelapukan, keluh kesah, sakit, kematian dll
12. Jara marana
Kelapukan, keluh kesah, sakit, kematian dll, sebagai akibat dari tumimbal lahir. Beginilah kehidupan timbul, berlangsung dan bersambung terus. Jika kita ambil rumus tersebut dalam arti yang sebaliknya, maka sampailah kepada penghentian dari proses itu. Pattica samuppada ini adalah merupakan obyek dasar dari Vipassana Bhavana termasuk salah satu obyek dari keenam obyek dasar vipassana bhavana, yaitu:[2]
a. Khadha 5 / Pancakkhandha
b. Dhatu 18
c. Ayatana 12
d. Indriya 22
e. Pattica samuppada
f. Ariya Sacca / Cattari ariya saccani
2. Pattica Samuppada Bersifat Ilmiah
Pokok permulaan sebab akibat yang saling bergantungan atau muncul bersamaan karena syarat – syarat yang salaing bergantungan yang dapa dinyatakan dengan ; “ Bergantung kepada ini maka timbullah itu, atau oleh karena adanya ini maka itupun ada. Seluruh alam semesta ini dikuasai oleh hokum Paticca samuppada. Hukum paticca samuppada ini adalah tidak sama dengan hokum sebab akibat dari Aristoteles, seorang filsuf abad ke lima Sebelum Masehi. Menurut hokum Paticca Samuppada, bahwa dua kejadian itu tidak dapat dianggap terpisah secara tegas satu dari yang lainnya, oleh karena keduanya itu merupakan mata rantai yang berurutan didalam suatu proses yang tidak mengenal sela – sela ( batas ). Tiada sesuatu kejadian di alam semesa ini yang berdiri sendiri secara mulak. Sesuatu sebab tidak mungkin berdiri sendiri tanpa ada bersama – sama dengan akibatnya.
Penggunaan Hukum
paticca samuppada untuk menjelaskan adanya derita, dimana YMS Buddha Gotama
merenungkan sebab musabab daripada kematian, kelapukan, dan kesengsaraan.
Berbeda sekali dengan penjelasan dari orang – orang lainnya, yang masih banyak
diliputi ketahayulan, dan Beliau tidak percaya bahwa penderitaan manusia disebabkan oleh karena murkanya dewa – dewa yang bermacam – macam. Beliau mempergunakan akal pikiran, sehingga penyelidikan – penyelidikannya bersifat ilmiah. Kemudian dicobanya untuk mencari sebab musabab penderitaan manusia berdasarkan hokum paticca samuppada. Rumusan keseluruhan hokum pattica Samuppada itu diringkas sebagi berikut :
“ Dengan adanya ini, adalah itu, dengan timbulnya ini, timbula itu. Dengan tidak adanya ini, tidak adalah itu, dengan lenyapnya ini, lenyaplah itu.”
C. Tumimbal Lahir
Tumimbal lahir adalah hokum kelahiran kembali. Semua makhluk akan terus dilahirkan kembali di berbagai alam kehidupan ( sesuai dengan karmanya masing–masing ) selama masih di cengkeram oleh tanha ( nafsu keinginan yang tak kunjung padam ) dan avidya ( ketidaktahuan ).[3] Menurut pandangan Agama Buddha, ada 31 alam kehidupan sebagai tempat makhluk hidup ber – tumimbal lahir sebelum mencapai kebahagiaan kekal abadi ( Nirvana). Tumimbal lahir makhluk hidup ada empat cara, yaitu :
a. Jalabuja Yoni: Makhluk yang lahir dalam kandungan
b. Andaja Yoni: Makhluk yang lahir dari telur
c. Sansedaja Yoni: Makhluk yang lahir dari kelembaban
d. Opapatika Yoni : Makhluk yang lahir dari secara spontan Yang tak terpisahkn dari hokum karma adalah kepercayaan terhadap tumimbal lahir. Ini merupakan penjelasan yang di berikan oleh sang Buddha mengenai betapa secara tak terelakan akibat selalu mengikuti sebab. Konsep ini sama pentingnya dengan konsep tentang ketidak kekalan universal. Menurut sang Buddha, masing – masing benda muncul karena sesuatu yang lain mendahuluinya. Peristiwa material dan mental sama – sama memiliki penyebab, dan rantai kejadian ini bersifat konstan. Hukum tumimbal lahir ini menjelaskan betapa beberapa hal tampaknya memiliki kekekalan sehingga seakan – akan abadi. Tumimbal lahir menjelaskan suatu jalan tengah di antara kedua hal yang bertentangan tersebut. Segala sesuatu memiliki eksistensi tetapi tidak abadi. Bahwa kita ada memang bukan ilusi ; bahwa kita abadi dan memilki inti diri yang terpisah dari yang ilusi. Ketika kita melupakan tumimbal lahir, sabda Sang Buddha, maka kita
menderita, sedangkan mengingat kebenarannya akan membuat penderitaan kita
berakhir. Tumimbal lahir merupakan sarana bagi sang Buddha untuk mengajarkan kepada pengikutnya bahwa mereka adalah penunjuk keberuntungan mereka sendiri. Beliau membelokan pertanyaan metafisis tentang hal yang tak bisa diketahui untuk hanya berurusan dengan hal – hal yang jelas memiliki manifestasi seperti adanya ketidaktahuan di dalam dunia, tak peduli apapun yang menyebabkannya.
Jumlah yang sebenarnya dari tumimbal lahir seperti diungkapkan oleh Sang Buddha
sebenarnya bervariasi di dalam berbagai subjek wacananya. Namun secara umum
ditampilkan 12 hal ( 12 mata rantai saling bergantungan ) yang dianggap telah
mewakili ajarannya.
1. Ketidaktahuan
Dari ketidaktahuan, munculah penderitaan dan roda kejadian. Hal ini menghasilkan pengindraan yang salah mengenai diri atau ego yang terikat pada kehidupan. Ketidaktahuan memisahkan kita dari dunia dan merupakan akar dari perbuatan kita.
2. Kecenderungan
Dari ketidaktahuan, muncul pula kecenderungan dari dalam yang bisa digolongkan sebagai baik atau buruk. Kecenderungan dari dalam terhadap aspirasi spiritual mungkin menghasilkan kelahiran yang memberikan kesempatan terhadap peningkatan. Kecenderungan dari dalam terhadap nafsu kekayaan mungkin menyebabkan kelahiran kembali di dalam keluarga yang kaya.
3. Kesadaran
Dari kegiatan yang memiliki tujuan, muncullah kesadaran. Kesadaran tetap ada setelah kematian tubuh fisik, indra, dan persepsi. Dari kesadaran muncul kelahiran baru, kecuali kalau kesadaran itu berakhir dengan pembebasan pada saat kematian. Kesadaran diri adalah penyebab kelahiran kembali ( reinkarnasi ).
4. Nama dan Bentuk
Dari kesadaran muncul nama – nama dan bentuk – bentuk. Suatu objek adalah konsep yang tanpa makna kalau tak mempunyai kaitan dengan suatu objek, keduanya saling
ketergantungan.
5. Pengindraan
Dari nama, bentuk, dan kesadaran muncul enam indra ( Buddhis ) : penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, penyentuhan dan aktivitas mental.
6. Kontak
Dari enam indra muncul organ eksternal yang digunakan untuk berhubungan dengan dunia luar.
7. Perasaan
Dari kontak dengan hal – hal eksternal/aktivitas mental, muncul perasaan dan emosi.
8. Idaman
atau Kerinduan Idaman menciptakan persepsi, agregat
kelima,atau khandha, salah satu dari lima unsure manifestasi, yang semuanya
menyebabkan kelahiran kembali. Penderitaan lenyap begitu idaman disingkirkan.
9. Keterikatan
Muncul keterikatan kepada gagasan atau
objek di dunia dan anggapan mengenai apa yang kita rasakan dari itu.
10. Keberadaan
Datang – untuk – ada muncul dari kumpulan unsure – unsure makhluk yang diciptakan oleh idaman dan keterikatan kita.
11. Kelahiran
kembali ( reinkarnasi ) Dari ada, atau datang –untuk – ada,
muncullah kelahiran kembali yang sebenarnya berada di dalam ketidaktahuan dan
putaran roda Dharma lainnya. Hanya kesadaran akan nirvana yang dapat
membebaskan kita.
12. Usia
Tua dan Kematian Dari kelahiran kembali, muncullah penderitaan terhadap berbagai pengalaman duniawi, kesedihan, usia tua, dan kematian. Dari ketidaktahuan, kita mengakumulasikan agregat dan karma tanpa akhir yang menyebabkan kelahiran kembali hingga kita mencapai pembebasan dari roda kejadian.
D. Nibbana
Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi, suatu keadaan kebahagiaan abadi yang luar biasa. Kebahagiaan nibbana tidak dapat dialami dengan memanjakan indera,tetapi dengan menenangkannya. Nibbana adalah tujuan akhir ajaran Buddha. Nibbana dapat dicapai dalam hidup sekarang atau dapat pula dicapai setelah mati. Nibbana yang dicapai semasa hidup di dalam dunia ini, masih mengandung sisa – sisa kelompok kehidupan yang masih ada, seperti yang dicapai oleh YMS Buddha Gotama di dalam kehidupannya di dunia ini.
Demikian pula halnya dengan Siddharta Gotama, yang terlahir sebagai putera rajaSuddhodana, harus akhirnya wafat, meskipun beliau telah menjadi Buddha dan telah mencapai Nibbana dalam kehidupannya. Inilah yang dimaksud dengan nibbana yang dicapai masih mengandung sisa – sisa kelima kelompok kehidupan yang masih ada. Kemudian setelah YMS Buddha Gotama wafat, maka beliau
telah mencapai nibbana yang tidak lagi mengandung sisa – sisa kelima kelompok
kehidupan. Beliau telah bebas dari kelahiran, penderitaan, umur tua dan
kematian dan telah hidup dalam kebahagiaan yang kekal nan abadi. Jadi nibbana atau nirvana itu dibagi atas dua bagian yaitu :
1. Nibbana
yang masih mengandung sisa – sisa kelima kelompok kehidupan yang masih ada dan ini dicapai dalam kehidupan di dunia ini atau dalam kata Pali disebut SA
UPADISESA NIBBANA.
2. Nibbana
yang tidak mengandung sisa – sisa kelima kelompok kehidupan, yang dicapai
setelah meninggal dunia atau dalam kata Pali disebut AN UPADISESA NIBBANA.
a. Delapan Ruas Jalan Utama Sifat nibbana adalah
Esa dan tidak diciptakan, mengandung ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi nibbana
itu harus dicapai dengan melaksanakan delapan ruas jalan utama.[4] Bodhisattva pangeran Siddharta Gotama, melalui pengalaman – pengalamannya sendiri telah menemukan jalan tengah yang telah menghasilkan pandangan dan pengetahuan yang membawa beliau ke ketenangan, pengertian benar, kesadaran agung dan nibbana. Pada hakekatnya seluruh ajaran YMS Buddha Gotama, yang disiarkannya sendiri untuk 45 tahun lamanya. Beliau telah menerangkan dalam berbagai cara, dengan memakai aneka perkataan kepada bermacam – macam orang, sesuai dengan tingkatan pengetahuan masing–masing dan kesanggupan mereka untuk mengerti dalam mengikuti beliau.
Sari dari ribuan sutta
dalam kitab suci agama Buddha adalah mengenai delapan ruas jalan utama. Sangat
diharapkan sekali jangan sampai disalah tafsirkan, bahwa ruas jalan ( Magganga) ini harus dilaksanakan menurut nomor urutan dari susunan yang kesatu sampai yang kedelapan. Tetapi sedikit banyaknya harus dipertimbangkan bersama – sama, tentu saja tergantung dengan keadaan dan kesanggupan tiap – tiap orang. Karena ruas – ruas jalan itu sebenarnya satu sama lain saling bergantungan dan saling bantu membantu.Maka delapan ruas jalan utama atau jalan tengah itu lazim dibagi dalam tiga golongan yang lebih besar, yaitu :
Sila: Tata hidup yang susila dan beradab
- Samadhi: Pembinaan disiplin mental
- Panna: Kebijaksanaan / kebijaksanaan luhur
- Yang Lenyap di Nibbana
c. Orang yang telah mencapai Nibbana bebas dari lahir, derita, umur tua, dan mati; lobha, dosa dan moha. Tiada lagi penderitaanbagi mereka yang telah mencapai nibbana, yang telah terbebas dari penderitaan, yang telah membebaskan diri dari segala ikatan nafsu. Manusia yang demikian tidak lagi terikat oleh lingkaran Tumimbal Lahir dan kematian. Cita – cita semua umat budha, pertama – tama ialah untuk mencapai tingkat kesucian, untuk menjadi manusia manusia suci atau arahat, atau menjadi Bodhisattva untuk mencapai tingkat ke – Buddha –an dan Nibbana. Mereka yang mencapai kebahagiaan Nibbana dapat mengalaminya selama sisa keberadaan mereka sebagi manusia. Nibbana tidak terkondisi, tidak relatif, atau tidak saling ketergantungan, jadi tiada lain bahwa Nibbana adalah kebenaran Mutlak.
DaftarPustaka
1. Sumantri,M.U, kebahagiaan dalam Dhamma, Majelis Budhayana Indonesia,1980
2. Stokes,Gilian, Budha : Seri Siapa Dia?, Jakarta: Erlangga,2001
3. Dhamananda,Sri, Keyakinan Umat Buddha, Yayasan Pustaka Karaniya, 2005
4. Panjika,Rampaian Dhamma, Vihara Buddha Metta,Jakarta,2004
5. Maha Pandita Sumedha Widyadharma, Dhamma Sari, Jakarta : Yayasan Kanthaka Kencana,1980
Tidak ada komentar:
Posting Komentar